otorbaev3_Abylai SaralayevTASS via Getty Images_japarov kyrgyzstan Abylai Saralayev/TASS via Getty Images

Persimpangan Pasca Revolusi Kyrgyzstan

BISHKEK – Setelah melakukan tiga revolusi dalam dua puluh tahun terakhir, kita mungkin berpendapat bahwa masyarakat Kyrgyzstan sudah punya pengetahuan khusus mengenai cara melakukan revolusi. Tapi, karena permasalahan baru selalu muncul setiap kali revolusi terjadi, maka pengetahuan yang berasal dari pengalaman tersebut tentu terbatas.

Revolusi terakhir Kyrgyzstan dimulai dengan cara yang biasa. Setelah pemilu parlemen pada tanggal 4 Oktober, para pengunjuk rasa dan perusuh turun ke jalan untuk mendesak pembatalan hasil pemilu, yang kemudian memicu krisis politik berskala besar. Pada tanggal 6 Oktober, para pengunjuk rasa menduduki Gedung Putih – gedung pemerintah yang terdiri dari kantor presiden dan parlemen. Perebutan kekuasaan secara damai terjadi beberapa hari kemudian. Pada akhirnya, Komisi Pemilu Pusat membatalkan hasil pemilu, Presiden Sooronbai Jeenbekov mengundurkan diri, dan Sadyr Japarov, seorang politisi yang baru saja dibebaskan dari penjara, menjadi pejabat pelaksana tugas presiden.  

Sementara itu, sebagai satu-satunya lembaga politik yang masih independen di negara ini, parlemen harus terus bekerja selama masa-masa unjuk rasa, mengesahkan undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu presiden dan melakukan pemungutan suara terhadap konstitusi baru pada tanggal 10 Januari 2021. Reformasi ini diprakarsai oleh Japarov sendiri, sehingga memicu lawannya menuduh dia mencoba merebut kekuasaan dan mengubah haluan negara menjadi tidak demokratis.

https://prosyn.org/tSSu8N1id