BERLIN – Konvensi Nasional Partai Republik AS yang diselenggarakan baru-baru ini bermasalah dalam banyak hal – mulai dari penyalahgunaan Gedung Putih sebagai lokasi kampanye (pelanggaran terhadap Undang-Undang Hatch dan norma-norma yang selama ini ada) dan para pembicara yang berbohong tanpa rasa malu, hingga parade anggota keluarga Trump. Di tengah pertunjukan norak yang seakan-akan menjadikan Partai Republik sebagai anak perusahaan Trump Organization, ada satu aspek yang mencolok: partai tersebut tidak menawarkan platform kebijakan. Satu-satunya tujuan dari Partai Republik sepertinya adalah “mendukung agenda Amerika yang Utama dari Presiden Trump.”
Dalam satu sisi, tidak menawarkan platform kebijakan bisa jadi merupakan sebuah strategi pintar untuk melindungi partai Republik dari Donald Trump. Kalau Trump kalah pada bulan November, para anggota Partai Republik bisa mencuci tangan dari tanggung jawab mendukung Trump dan menyatakan bahwa Trump adalah pemimpin lemah yang kalah; prinsip-prinsip partai tersebut tetap terjaga.
Tapi interpretasi yang lebih masuk akal adalah campuran beracun antara polarisasi dan sikap partisan berlebih di Amerika sudah mencapai tingkat yang baru. Karena sudah hampa, paling tidak satu partai utama di AS tidak lagi memenuhi fungsi dasarnya dalam demokrasi.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Antara Haldar
advocates a radical rethink of development, explains what went right at the recent AI Safety Summit, highlights the economics discipline’s shortcomings, and more.
The prevailing narrative that frames Israel as a colonial power suppressing Palestinians’ struggle for statehood grossly oversimplifies a complicated conflict and inadvertently vindicates the region’s most oppressive regimes. Achieving a durable, lasting peace requires moving beyond such facile analogies.
rejects the facile moralism of those who view the ongoing war through the narrow lens of decolonization.
The far-right populist Geert Wilders’ election victory in the Netherlands reflects the same sentiment that powered Brexit and Donald Trump’s candidacy in 2016. But such outcomes could not happen without the cynicism displayed over the past few decades by traditional conservative parties.
shows what Geert Wilders has in common with other ultra-nationalist politicians, past and present.
BERLIN – Konvensi Nasional Partai Republik AS yang diselenggarakan baru-baru ini bermasalah dalam banyak hal – mulai dari penyalahgunaan Gedung Putih sebagai lokasi kampanye (pelanggaran terhadap Undang-Undang Hatch dan norma-norma yang selama ini ada) dan para pembicara yang berbohong tanpa rasa malu, hingga parade anggota keluarga Trump. Di tengah pertunjukan norak yang seakan-akan menjadikan Partai Republik sebagai anak perusahaan Trump Organization, ada satu aspek yang mencolok: partai tersebut tidak menawarkan platform kebijakan. Satu-satunya tujuan dari Partai Republik sepertinya adalah “mendukung agenda Amerika yang Utama dari Presiden Trump.”
Dalam satu sisi, tidak menawarkan platform kebijakan bisa jadi merupakan sebuah strategi pintar untuk melindungi partai Republik dari Donald Trump. Kalau Trump kalah pada bulan November, para anggota Partai Republik bisa mencuci tangan dari tanggung jawab mendukung Trump dan menyatakan bahwa Trump adalah pemimpin lemah yang kalah; prinsip-prinsip partai tersebut tetap terjaga.
Tapi interpretasi yang lebih masuk akal adalah campuran beracun antara polarisasi dan sikap partisan berlebih di Amerika sudah mencapai tingkat yang baru. Karena sudah hampa, paling tidak satu partai utama di AS tidak lagi memenuhi fungsi dasarnya dalam demokrasi.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account? Log in