BOGOTÁ – Banyak pihak yang menyerukan moratorium sementara semua pembayaran utang oleh negara-negara berkembang dan emerging, untuk mencegah pandemi COVID-19 memicu gelombang besar negara yang gagal membayar utang. Daripada menunggu dengan pasif sampai semua debitur berhenti memenuhi kewajiban mereka, argumennya adalah akan lebih baik bagi kreditor untuk setuju menangguhkan pembayaran utang sementara waktu.
Tapi meskipun penangguhan pembayaran utang yang komprehensif bisa membantu banyak negara-negara berpendapatan rendah yang tidak mempunyai pilihan lain, hal ini bisa menjadi kontraproduktif bagi negara-negara emerging yang saat ini masih punya akses terhadap pasar keuangan. Yang diperlukan oleh negara-negara ini adalah lebih banyak aliran modal masuk, bukan pembatasan keluarnya arus modal.
Penangguhan pembayaran menimbulkan dua permasalahan. Pertama, negara-negara emerging memerlukan tambahan pendanaan – dengan kata lain, lebih banyak sumber daya yang akan tersedia dengan membekukan kewajiban pembayaran utang mereka. Kedua, negara-negara yang berpartisipasi dalam pembekuan pembayaran akan menghadapi tindakan hukum oleh beberapa pemegang obligasi, sehingga membahayakan akses mereka terhadap pasar modal di masa depan.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
While carbon pricing and industrial policies may have enabled policymakers in the United States and Europe to avoid difficult political choices, we cannot rely on these tools to achieve crucial climate goals. Climate policies must move away from focusing on green taxes and subsidies and enter the age of politics.
explains why achieving climate goals requires a broader combination of sector-specific policy instruments.
The long-standing economic consensus that interest rates would remain low indefinitely, making debt cost-free, is no longer tenable. Even if inflation declines, soaring debt levels, deglobalization, and populist pressures will keep rates higher for the next decade than they were in the decade following the 2008 financial crisis.
thinks that policymakers and economists must reassess their beliefs in light of current market realities.
BOGOTÁ – Banyak pihak yang menyerukan moratorium sementara semua pembayaran utang oleh negara-negara berkembang dan emerging, untuk mencegah pandemi COVID-19 memicu gelombang besar negara yang gagal membayar utang. Daripada menunggu dengan pasif sampai semua debitur berhenti memenuhi kewajiban mereka, argumennya adalah akan lebih baik bagi kreditor untuk setuju menangguhkan pembayaran utang sementara waktu.
Tapi meskipun penangguhan pembayaran utang yang komprehensif bisa membantu banyak negara-negara berpendapatan rendah yang tidak mempunyai pilihan lain, hal ini bisa menjadi kontraproduktif bagi negara-negara emerging yang saat ini masih punya akses terhadap pasar keuangan. Yang diperlukan oleh negara-negara ini adalah lebih banyak aliran modal masuk, bukan pembatasan keluarnya arus modal.
Penangguhan pembayaran menimbulkan dua permasalahan. Pertama, negara-negara emerging memerlukan tambahan pendanaan – dengan kata lain, lebih banyak sumber daya yang akan tersedia dengan membekukan kewajiban pembayaran utang mereka. Kedua, negara-negara yang berpartisipasi dalam pembekuan pembayaran akan menghadapi tindakan hukum oleh beberapa pemegang obligasi, sehingga membahayakan akses mereka terhadap pasar modal di masa depan.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account? Log in