sandor2_Stefano GuidiGetty Images_coronavirusenursedoctorhospital Stefano Guidi/Getty Images

Bioetika untuk Pandemi

BUDAPEST – Sejak virus SARS-CoV-2 menyebar dari Tiongkok ke hampir seluruh dunia pada bulan Februari dan Maret, secara bertahap kita semua telah menjadi peserta dalam dilema etika. Yang utama, pandemi COVID-19 telah memunculkan pertanyaan besar bagi sistem kesehatan yang kewalahan tentang bagaimana caranya untuk terus memberikan layanan pada pasien dengan cara yang aman, adil, dan efektif. Dan, yang mengkhawatirkan, krisis ini tidak hanya telah menyoroti ketidaksiapan para politisi dan sistem layanan kesehatan, tapi juga kegagalan kita untuk mengembangkan norma etika yang relevan. 

Ketika pandemi menyebar, banyak pemerintahan yang dengan tergesa-gesa menerapkan protokol medis dan penjarakan sosial yang mirip dengan respons keras dari pemerintah Tiongkok. Hingga awal tahun ini, negara-negara maju telah mendiskusikan akses terhadap alat baru untuk layanan kesehatan seperti robotika dan kecerdasan buatan, atau bagaimana negara dapat membiayai teknologi reproduksi buatan. Tapi dalam sekejap mata, sistem kesehatan negara-negara tersebut secara mengejutkan dan tanpa keraguan menerima etika utilitarian – tidak hanya dengan menerapkan triage secara drastis di unit perawatan intensif (ICU), tapi juga dengan menolak untuk menawarkan serangkaian layanan medis lain yang juga sangat dibutuhkan.

Buku pelajaran etika berisi berbagai dilema filosofis yang menimbulkan pertanyaan tentang moralitas atas selalu diterapkannya penghitungan utilitarian terhadap nyawa manusia. Salah satu yang paling terkenal dari dilema tersebut adalah pertanyaan yang diungkapkan oleh filsuf Inggris Philippa Foot, yang membicarakan mengenai trem yang bergerak ke arah lima orang yang terikat di rel. Dengan menarik tongkat, Anda bisa mengubah jalur trem dan menyelamatkan nyawa kelima orang tersebut, tapi trem itu kemudian akan membunuh satu orang di jalur yang berbeda. Apa yang harus Anda lakukan? 

https://prosyn.org/bVMGgZWid