

Though Polish voters in October ousted their right-wing populist government, recent elections in Slovakia and the Netherlands show that populism remains as malign and potent a political force as ever in Europe. But these outcomes also hold important lessons for the United States, where the specter of Donald Trump’s return to the White House haunts the runup to the 2024 presidential election.
BRIGHTON – Menjadi miskin adalah sebuah pengalaman yang memalukan, merendahkan martabat dan harga diri. Meskipun bentuk dan penyebab kemiskinan berbeda-beda, hal ini menyebabkan rasa malu yang sama. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Universitas Oxford menemukan bahwa dari Tiongkok hingga Inggris, orang yang mengalami kesulitan ekonomi – bahkan anak-anak – mengalami gangguan harga diri dan kepercayaan diri yang hampir serupa.
Namun terlepas dari adanya bukti yang jelas akan hubungan dari kemiskinan dan tekanan psikologis, kebijakan untuk menangani kemiskinan biasanya tidak memperhitungkan rasa malu. Sebaliknya, upaya untuk mengurangi kemiskinan cenderung fokus pada perwujudan nyata seperti kurangnya pendapatan atau pendidikan. Sebagai hasilnya, solusi terhadap kemiskinan seringkali secara implisit berasumsi bahwa kekayaan materi atau peningkatan kondisi hidup akan secara otomatis membawa manfaat yang tidak nyata, termasuk peningkatan kesehatan mental.
Kurangnya perhatian pada dampak psikologis dari kemiskinan – yaitu interaksi antara pengaruh sosial dan perilaku individu – merupakan sesuatu yang salah arah. Jika kita ingin mengurangi penderitaan manusia dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB yang utama yaitu mengentaskan kemiskinan “dalam segala bentuk” pada tahun 2030, mengatasi peran intrinsik dan instrumental dari rasa malu dalam kemiskinan harus menjadi fokus dari upaya kita.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account? Log in