LONDON – Bank sentral di negara-negara emerging market sudah mengalami revolusi senyap selama pandemi COVID-19. Berbeda dengan krisis yang terjadi di masa lalu, bank-bank sentral di negara-negara emerging market kini bisa meniru langkah-langkah yang diterapkan oleh bank-bank sentral di negara-negara maju: kebijakan counter-cyclical dengan pelonggaran moneter (QE), pembelian aset mata uang dalam negeri, pemotongan suku bunga, dan monetisasi defisit pemerintah.
Di masa lalu, kebijakan seperti ini akan mendorong inflasi dan menekan nilai tukar mata uang. Tapi, hal ini tidak terjadi sekarang. Bank-bank sentral negara-negara emerging market, dengan pengecualian beberapa bank sentral yang sudah dilanda permasalahan sejak sebelum pandemi ini terjadi, bisa melakukan pelonggaran moneter untuk menciptakan ruang gerak dalam merespons krisis ini.
Kebijakan moneter di negara-negara maju memungkinkan perubahan ini. Program pelonggaran moneter negara-negara tersebut telah memberi efek limpahan yang positif, dan negara-negara tersebut sudah memperluas kegiatan currency swaps (pertukaran mata uang) dan perjanjian repo (pembelian kembali) mata uang asing dalam merespons krisis ini. Di antara langkah-langkah yang diambil oleh bank-bank sentral yang berpengaruh sistemis secara global (GSCB), respons Bank Sentral Amerika Serikat adalah yang paling penting, tapi swap dan repo oleh Bank Sentral Eropa dan Bank Rakyat Tiongkok juga sudah memberi dampak yang besar pada tingkat regional.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account?
Log in
LONDON – Bank sentral di negara-negara emerging market sudah mengalami revolusi senyap selama pandemi COVID-19. Berbeda dengan krisis yang terjadi di masa lalu, bank-bank sentral di negara-negara emerging market kini bisa meniru langkah-langkah yang diterapkan oleh bank-bank sentral di negara-negara maju: kebijakan counter-cyclical dengan pelonggaran moneter (QE), pembelian aset mata uang dalam negeri, pemotongan suku bunga, dan monetisasi defisit pemerintah.
Di masa lalu, kebijakan seperti ini akan mendorong inflasi dan menekan nilai tukar mata uang. Tapi, hal ini tidak terjadi sekarang. Bank-bank sentral negara-negara emerging market, dengan pengecualian beberapa bank sentral yang sudah dilanda permasalahan sejak sebelum pandemi ini terjadi, bisa melakukan pelonggaran moneter untuk menciptakan ruang gerak dalam merespons krisis ini.
Kebijakan moneter di negara-negara maju memungkinkan perubahan ini. Program pelonggaran moneter negara-negara tersebut telah memberi efek limpahan yang positif, dan negara-negara tersebut sudah memperluas kegiatan currency swaps (pertukaran mata uang) dan perjanjian repo (pembelian kembali) mata uang asing dalam merespons krisis ini. Di antara langkah-langkah yang diambil oleh bank-bank sentral yang berpengaruh sistemis secara global (GSCB), respons Bank Sentral Amerika Serikat adalah yang paling penting, tapi swap dan repo oleh Bank Sentral Eropa dan Bank Rakyat Tiongkok juga sudah memberi dampak yang besar pada tingkat regional.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account? Log in