DUBAI – Setiap pengunjung di Timur Tengah pasti melihat kesenjangan yang semakin besar antara aspirasi pendidikan, kewirausahaan, dan pekerjaan yang dimiliki kaum muda di kawasan ini dan kenyataan pahit yang menghalangi begitu banyak dari mereka dari terwujudnya masa depan yang positif. Memang, di Timur Tengah, setengah dari penduduk usia 18-25 tahun tergolong penangguran (unemployed) atau setengah menganggur (underemployed).
Kondisi ini diperburuk dengan krisis pengungsi global, kini sekitar 30 juta anak-anak terlantar, 6 juta diantaranya dari Suriah saja, hanya sedikit yang mungkin bisa kembali ke rumahnya selama usia sekolah. Tentu tidak mengejutkan ketika kelompok yang dikenal di kawasan ini sebagai Daesh (Negara Islam atau ISIS) percaya bahwa krisis ini bisa menciptakan lahan subur bagi rekrutmen mereka dengan adanya populasi besar kaum muda yang terusir dan merasa tidak puas.
Kini propagandis Daesh menyalahgunakan media sosial sama seperti pendahulu-pendahulu mereka yang ekstrimis dan para propagandis sezamannya terkadang menyalahgunakan masjid – sebagai forum radikalisasi. Kelompok ini secara konsisten mengunggah muatan-muatan yang meragukan atau menolak kemungkinan koeksistensi antara Islam dan dunia Barat dan menyerukan pemuda untuk berjihad.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
At the end of European Communism, there was a widespread, euphoric hope that freedom and democracy would bring a better life; eventually, though, many lost that hope. The problem, under both Communism and the new liberal dispensation, was that those pursuing grand social projects had embraced ideology instead of philosophy.
considers what an Albanian Marxist philosopher can tell us about liberty in today's world.
For the US, Slovakia's general election may produce another unreliable allied government. But instead of turning a blind eye to such allies, as President Joe Biden has been doing with Poland, or confronting them with an uncompromising stance, the US should spearhead efforts to help mend flawed democracies.
reflect on the outcome of Slovakia's general election in the run-up to Poland's decisive vote.
DUBAI – Setiap pengunjung di Timur Tengah pasti melihat kesenjangan yang semakin besar antara aspirasi pendidikan, kewirausahaan, dan pekerjaan yang dimiliki kaum muda di kawasan ini dan kenyataan pahit yang menghalangi begitu banyak dari mereka dari terwujudnya masa depan yang positif. Memang, di Timur Tengah, setengah dari penduduk usia 18-25 tahun tergolong penangguran (unemployed) atau setengah menganggur (underemployed).
Kondisi ini diperburuk dengan krisis pengungsi global, kini sekitar 30 juta anak-anak terlantar, 6 juta diantaranya dari Suriah saja, hanya sedikit yang mungkin bisa kembali ke rumahnya selama usia sekolah. Tentu tidak mengejutkan ketika kelompok yang dikenal di kawasan ini sebagai Daesh (Negara Islam atau ISIS) percaya bahwa krisis ini bisa menciptakan lahan subur bagi rekrutmen mereka dengan adanya populasi besar kaum muda yang terusir dan merasa tidak puas.
Kini propagandis Daesh menyalahgunakan media sosial sama seperti pendahulu-pendahulu mereka yang ekstrimis dan para propagandis sezamannya terkadang menyalahgunakan masjid – sebagai forum radikalisasi. Kelompok ini secara konsisten mengunggah muatan-muatan yang meragukan atau menolak kemungkinan koeksistensi antara Islam dan dunia Barat dan menyerukan pemuda untuk berjihad.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account? Log in