ZÜRICH/LUGANO – Era geologi kita, Antroposen, yaitu era ketika manusia menentukan nasib bumi, dicirikan dengan ancaman yang besar. Beberapa dari ancaman tersebut ditangani dengan rencana-rencana aksi seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Tapi kita sepertinya terperangkap di antara memahami bahwa perilaku kita harus berubah dan ketidakmampuan kita mengubah kebiasaan.
Dalam dunia yang padat penduduk, banyak orang yang bertanya, “Apa nilai dari nyawa manusia?” Pandemi COVID-19 kembali memunculkan pertanyaan tersebut, dan membingkainya dengan gamblang: Siapa yang harus mati terlebih dahulu jika tidak ada sumber daya yang cukup untuk menyelamatkan semua orang?
Banyak novel fiksi ilmiah, seperti TheTyranny of the Butterfly karya Frank Schätzing, yang mengusung kekhawatiran yang sama, sering kali “menyelesaikan” permasalahan pembangunan berkelanjutan dengan cara-cara yang kejam yang mengingatkan kita pada beberapa masa terkelam dalam sejarah manusia. Dan kenyataannya tidak jauh berbeda. Berpikir bahwa kita bisa bergantung pada kecerdasan buatan (AI) untuk membantu kita mengatasi dilema tersebut adalah sebuah cara berpikir yang sangat menggoda. Permasalahan mengenai depopulasi dan eutanasia berbasis komputer sudah dibicarakan, dan AI sudah digunakan untuk membantu triase pasien COVID-19.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
While Europe bears disproportionate historical responsibility for climate change, it accounts for just 7.5% of global emissions today, meaning that the actions taken within the EU can have only a limited impact on the world’s climate. In fact, the only solution to climate change is a global one.
reiterates the EU’s commitment to advancing mitigation and adaptation, at home and globally.
Rather than reducing concentrated market power through “disruption” or “creative destruction,” technological innovation historically has only added to the problem, by awarding monopolies to just one or a few dominant firms. And market forces offer no remedy to the problem; only public policy can provide that.
shows that technological change leads not to disruption, but to deeper, more enduring forms of market power.
ZÜRICH/LUGANO – Era geologi kita, Antroposen, yaitu era ketika manusia menentukan nasib bumi, dicirikan dengan ancaman yang besar. Beberapa dari ancaman tersebut ditangani dengan rencana-rencana aksi seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Tapi kita sepertinya terperangkap di antara memahami bahwa perilaku kita harus berubah dan ketidakmampuan kita mengubah kebiasaan.
Dalam dunia yang padat penduduk, banyak orang yang bertanya, “Apa nilai dari nyawa manusia?” Pandemi COVID-19 kembali memunculkan pertanyaan tersebut, dan membingkainya dengan gamblang: Siapa yang harus mati terlebih dahulu jika tidak ada sumber daya yang cukup untuk menyelamatkan semua orang?
Banyak novel fiksi ilmiah, seperti TheTyranny of the Butterfly karya Frank Schätzing, yang mengusung kekhawatiran yang sama, sering kali “menyelesaikan” permasalahan pembangunan berkelanjutan dengan cara-cara yang kejam yang mengingatkan kita pada beberapa masa terkelam dalam sejarah manusia. Dan kenyataannya tidak jauh berbeda. Berpikir bahwa kita bisa bergantung pada kecerdasan buatan (AI) untuk membantu kita mengatasi dilema tersebut adalah sebuah cara berpikir yang sangat menggoda. Permasalahan mengenai depopulasi dan eutanasia berbasis komputer sudah dibicarakan, dan AI sudah digunakan untuk membantu triase pasien COVID-19.
To continue reading, register now.
Subscribe now for unlimited access to everything PS has to offer.
Subscribe
As a registered user, you can enjoy more PS content every month – for free.
Register
Already have an account? Log in